sepenggal cerita di kawasan pantai pangandaran
Awalnya, kawasan pantai Pangandaran ini dihuni penduduk asli setempat yang mayoritas penduduk suku sunda. Setelah banyak nelayan dari daerah lain, terutama dari daerah Jawa Tengah, mereka singgah dan akhirnya menetap di Pangandaran, mulailah penduduk di daerah ini berbaur menjadi heterogen.
Alasan banyaknya warga suku jawa dari daerah Jawa Tengah memutuskan bertransmigrasi ke Pangandaran, karena di daerah ini sangat melimpah sumber daya alamnya. Disampaing itu, karena gelombang ombak yang tampak landai, akibat pantainya berbentuk tanjung, membuat nelayan mudah menangkap ikan dengan hasil tangkapan melimpah.
Tanjung ini terbentuk akibat terdapat sebuah daratan yang menjorok ke laut. Daratan ini sekarang disebut kawasan Cagar Alam Pangandaran. Berkat adanya tanjung inilah yang membuat gelombang besar tertahan dan akhirnya landai menuju pantai.
Menurut Ketua Pemandu Wisata Lokal Pangandaran, Asep Nurdin Rosihan Anwar, awalnya para nelayan pendatang menjadikan kawasan pantai Pangandaran sebagai tempat bersandar perahu sembari menangkap ikan.
Namun, karena betah tinggal di daerah pantai Pangandaran dan ada beberapa diantaranya menikah dengan warga setempat, akhirnya mereka enggan pulang ke kampung halamannya. Gelombang eksodus para nelayan pendatang semakin tinggi seiring daerah tersebut berkembang menjadi sebuah perkampungan nelayan.
Asep menjelaskan, nama Pangandaran berasal dari dua buah kata, yakni Pangan dan Daran. Pangan artinya makanan dan Daran adalah pendatang. “ Nama Pangandaran ini memiliki sebuah arti dan makna. Jika menilik dari kisah sejarah, nama Pangandaran ini memiliki arti sumber makanan bagi para pendatang,” ujarnya, Minggu (23/03/2014).
Terkait munculnya nama Pananjung di kawasan pantai Pangandaran, lanjut Asep, juga memiliki sejarah tersendiri. Kata Pananjung ini merupakan sebuah gambaran tentang melimpahnya sumber daya alam di daerah tersebut. Dengan arti lain bahwa pantai Pangandaran ibarat surga bagi siapapun yang tinggal di daerah tersebut.
“Istilah Pananjung ini dinamai oleh sesepuh terdahulu di Pangandaran. Kata Pananjung ini diambil dari bahasa sunda yang bermakna “Pangnanjung-nanjungna” (paling subur atau paling makmur),” terangnya.
Kata Asep, nama Pananjung ini pun sempat dipakai sebagai nama kerajaan yang berdiri di kawasan pantai Pangandaran. Kerajaan ini berdiri sejaman dengan kerajaan Galuh Pangauban yang berpusat di Putrapinggan, Kecamatan Kalipucang atau sekitar abad 14 Masehi atau setelah munculnya kerajaan Padjadjaran di Pakuan Bogor.
“Nama raja Pananjung ini Prabu Anggalarang. Raja ini menurut cerita masih keturunan Prabu Haur Kuning atau raja pertama kerajaan Galuh Pagauban,” ujarnya.
Namun, Kerajaan Pananjung selama berdiri tidak sempat mengalami puncak kejayaan. Karena kerajaan ini akhirnya hancur setelah terjadi peperangan dengan para Bajo (Bajak Laut). Saat itu para Bajo memaksa untuk membeli hasil bumi yang dimiliki rakyat Kerajaan Pananjung.
Karena saat itu tengah mengalami panceklik, pihak kerajaan tidak bersedia menjual hasil buminya. Akhirnya para Bajo marah. Peperangan pun tak dapat lagi dihalangi. Usai peperangan, kerajaan ini hancur dan pemerintahan dikendalikan oleh para Bajo.
Menurut Asep, pada zaman penjajahan, tepatnya sekitar tahun 1922, Presiden Wilayah Priangan era pemerintahan Hindia Belanda, Y. Everen, menyulap daerah Pananjung ini menjadi sebuah taman. Saat itu dia melepaskan seekor banteng jantan, tiga ekor sapi betina dan beberapa ekor rusa untuk berhabitat di kawasan tersebut. Kawasan hutan itu pun berubah menjadi taman konservasi yang dilindungi.
Kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kabupaten Pangandaran, Yana Hendrayana menjelaskan, setelah di kawasan taman Cagar Alam Pananjung terdapat keanekaragaman satwa dan jenis–jenis tanaman langka, pada tahun 1934, kawasan ini kemudian ditetapkan sebagai suaka alam marga satwa. Hutan ini memiliki luas 530 Ha.
0 komentar:
Posting Komentar